xblog live

Catatan yang mungkin berguna

Thursday, March 29, 2007

Tempe Bacem

Sejak naik gaji, Susi menikmati kenaikan gajinya dengan mengubah gaya hidupnya. Dulu, dia selalu membawa makanan dari rumahnya. Kadang-kadang nasi dengan telor dadar, atau nasi dengan sisa lauk kemarin yang sudah dihangatkan. Susi paling suka tempe bacem, yang warnanya sampai gelap dan rasanya semakin enak. Nasi dan tempe bacem memang makanan favoritnya. Sudah dua bulan ini dia naik gaji karena jabatannya lebih tinggi. Tentu saja tugas dan tanggung jawabnya semakin tinggi. Sekarang dia merasa malu kalau membawa makanan dari rumah. Kini setiap siang dia makan di luar. Dulu, banyak teman yang sering titip uang supaya dibawakan tempe bacem kesukaannya yang ternyata disukai juga oleh mereka. Sekarang mereka sering mengeluh karena Susi tidak mau lagi membawakan tempe bacem kesukaan mereka. "Ah, malas bawa makanan dari rumah lagi," katanya setiap kali mereka menanyakan tempe bacemnya.

Susi menikmati gaya hidupnya yang berubah. Sekarang dia bisa makan ayam goreng keremes lengkap dengan es campur hampir tiap hari. Kadang-kadang nasi rames lengkap dengan sambal goreng ati, perkedel dan daging rendang serta telor dadar pedas serta jus buah. Enak juga sih. Rasanya mewah. Kini Susi tidak pernah lagi makan bersama teman-temanya di ruang makan. Dia selalu memilih makan siang di luar. Kalau sedang sangat sibuk, baru dia minta dibelikan makanan dan akan makan di ruangannya sendiri.

Tanpa disangka tiga hari yang lalu terjadi sesuatu yang membuat Susi terheran-heran. Pak Jono, presiden direktur, memanggil Susi untuk meminta laporan mingguan yang belum diterima. Kebetulan waktu itu sudah hampir jam makan siang. Susi datang ke ruangan beliau sambil membawa laporan yang diminta. Susi juga menjelaskan bahwa dia sudah menyerahkan laporan tersebut ke pak Jono. Pak Jono juga mengakui hal itu, tapi laporan itu terselip entah di mana, jadi pak Jono minta lagi.

Setelah berdiskusi sebentar, Pak Jono mengeluarkan kotak plastik berisi makanan. Beliau bertanya:"Susi sudah makan." "Belum, pak," jawab Susi. "Ya sudah, Susi makan dulu saja. Saya juga sudah lapar nih. Nanti kita lanjutkan lagi setelah makan siang." Susi kemudian minta diri untuk keluar makan siang. Sambil mempersilahkan Susi keluar, pak Jono membuka kotak makan siangnya. Tanpa sengaja, Susi melihat isi kotak itu. Isinya nasi, orak-arik telor campur buncis dan tempe bacem. Hanya itu.

Tanpa sadar Susi bertanya:"Pak, kok Bapak bawa makanan dari rumah sih?" "Memangnya kenapa," tanya pak Jono. "Ya... malu kan Pak? Masa presiden direktur bawa makanan dari rumah," begitu jawab Susi.

Pak Jono hanya tersenyum ramah dan menjawab:"Mengapa harus malu? Makanan ini penuh gizi, harga lebih murah, yang masak isteri saya, dan saya tidak perlu repot cari makanan lagi. Lagipula ini makanan kesukaan saya. Mau coba." Sambil tersenyum malu, Susi mengucapkan terima kasih.

Kejadian itu membuat Susi terheran. Kok Pak Jono tidak malu membawa makanan dari rumah ya? Tapi, memang setelah dipikir, mengapa harus malu? Kan banyak keuntungannya? Lebih murah, rasanya lebih sesuai selera sendiri, tidak perlu berpanas-panas keluar kantor mencari makanan, dan bisa memilih makanan kesukaan. Tiba-tiba, dia kangen lagi dengan tempe bacem buatan ibunya. Tempe bacem kesukaannya. Tempe bacem yang juga disukai teman-temannya.

Dua hari yang lalu, Susi membawa lagi makanan dari rumah. Dia membawa banyak tempe bacem dan membagikannya pada teman-temannya di ruang makan. Semua temannya sangat senang bisa makan tempe bacem lagi. Rasanya sudah bertahun-tahun mereka tidak makan tempe bacem. Padahal baru dua bulan. Susi terharu melihatnya.

Kini dia baru bisa mensyukuri keadaannya. Tidak perlu malu membawa makanan dari rumah. Pak Jono saja setiap hari selalu membawa makanan dari rumah. Padahal gaji dan kedudukan beliau kan lebih tinggi dari Susi? Untuk apa memboroskan uang gaji untuk makan mewah setiap hari? Sepertinya dia mengorbankan uangnya untuk membeli makanan yang lebih mahal hanya untuk kenikmatan sesaat dan untuk menuruti perasaan sombong akibat naik gaji dan naik jabatan.

Hari ini Susi membawa tempe bacem lagi karena kemarin banyak yang titip minta dibawakan. Malah mereka ingin membayar tempe bacem yang dibawanya. Susi tersenyum saja. Dia telah menemukan kenikmatan makan siangnya kembali.

Tadi siang ketika rapat, Pak Jono bertanya pada Susi:"Makan di mana tadi." Sambil tersenyum malu Susi menjawab:"Di ruang makan pak. Saya bawa dari rumah kok." Pak Jono berhenti sebentar memandangnya lalu tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Senyum Pak Jono mengandung banyak arti. Sepertinya beliau tahu mengapa Susi berubah. Tapi Susi senang. Dia ingat: If you have more money, do not change your life style! You will be rich!

Sumber: Tempe Bacem oleh Lisa Nuryanti, Director Expands Consulting & Training Specialist

selanjutnya...

Monday, March 19, 2007

Menunggu

Seperti biasa, Poppy tiba di kantor pukul sembilan kurang lima menit. Padahal seharusnya jam kerja dimulai pukul delapan tiga puluh. Hari ini masih lumayan loh, biasanya pukul sembilan lebih dia baru tiba di kantor. Poppy sudah biasa begitu sejak sebulan yang lalu. Dulu dia selalu datang lebih pagi, malah paling pagi. Betul-betul karyawan teladan. Entah mengapa. Mungkin karena melihat karyawan lain tidak datang sepagi dia, maka kemudian Poppy mulai datang siang.

Atasan Poppy, Bapak Hary, sangat rajin. Beliau sangat sibuk, banyak sekali strategi yang harus dipikirkannya untuk memajukan perusahaan. Apalagi sifat beliau memang bukan orang yang cerewet. Melihat Poppy datang terlambat, biasanya beliau hanya melirik sebentar ke arahnya sambil terus melanjutkan pekerjaannya. Tentu saja Poppy merasa senang. Rupanya beliau tidak marah melihatnya terlambat.

Poppy terus menerus datang terlambat ke kantor. Suatu hari, dia tiba di kantor hampir pukul setengah sepuluh. Tanpa rasa bersalah, dia masuk ke kantor dan melihat Pak Hary sibuk seperti biasa. Tiba-tiba Pak Hary menoleh kearahnya dan bertanya: "Kok kamu terlambat lagi?". Merasa terkejut, Poppy menjawab: "Ada kecelakaan di jalan, pak, jadi jalanannya macet luar biasa."

"Saya perhatikan akhir-akhir ini kamu selalu datang siang. Dulu kamu tidak begini. Dulu kamu selalu bisa datang lebih pagi kan?" "Iya, pak," jawab Poppy sambil sedikit tersenyum malu.

"Poppy, kalau saya tidak pernah menegur kamu karena terlambat, bukan berarti saya setuju terhadap hal tersebut. Saya bukan tipe orang yang cerewet. Tapi saya mengharap kalian semua yang bekerja di sini mampu bersikap sebagai orang dewasa yang tahu mana sikap dan perbuatan yang baik, pantas dan benar, serta mana yang tidak. Saya tidak suka memperlakukan kalian seperti anak kecil yang harus ditegur dan dimarahi."

"Waktu dulu kamu masuk kerja di sini, sudah tahu kan bahwa kantor dimulai pukul delapan tiga puluh? Saya harap kamu bisa tetap bekerja sesuai dengan persetujuan pertama kita. Dulu kamu tidak keberatan kan? Kenapa sekarang jadi terlambat terus? Jangan menunggu ditegur atau dimarahi untuk berubah."

Poppy merasa bersalah dan minta maaf. Dia berjanji akan datang lebih. Satu hal yang paling menggugah hatinya adalah perkataan Pak Hary yang bunyinya:"Jangan menunggu ditegur atau dimarahi untuk berubah." Poppy sadar, selama ini memang demikianlah kebiasaannya berpikir. Bukan hanya masalah terlambat masuk kantor. Tapi dalam segala hal, dia selalu begitu.

Misalnya, dia suka mengejek teman kerjanya dengan sebutan "Doraemon" karena menurut Poppy, dia sangat mirip Doraemon. Orang tersebut hanya tersenyum saja kalau dipanggil Doraemon. Sampai suatu hari, orang itu berkeluh kesah kepada sahabatnya. Ternyata dia termasuk orang yang sangat tidak percaya diri. Setiap kali dipanggil Doraemon, dia sebenarnya sangat sedih dan terluka. Rasa percaya dirinya hilang. Waktu sahabatnya menyuruhnya menyampaikan hal ini kepada Poppy, dia tidak berani. Takut menyinggung. Akhirnya seluruh keluh kesahnya disimpannya dalam hati.

Sahabat inilah yang kemudian mengatakan kepada Poppy agar berhenti menyebut orang itu dengan nama panggilan tersebut. Memang yang bersangkutan tidak pernah marah, tapi sahabat ini berkata kepada Poppy: "Dia tidak marah bukan berarti dia suka dipanggil demikian. Saya tahu hatinya terluka. Sebaiknya jangan memanggilnya demikian lagi."

Sebenarnya Poppy heran. Menurut dia, panggilan itu hanya untuk bercanda kok. Mengapa mesti sakit hati? Bukankah itu lucu? Tapi kata orang itu, mungkin saja bagi Poppy lucu, tapi bagi yang bersangkutan hal tersebut mengurangi rasa percaya dirinya. Poppy pun menurut. Dia tidak pernah menggunakan nama panggilan itu lagi.

Selain itu, kalau tidak ditanya oleh atasannya mengenai perkembangan kerjanya, Poppy juga menyadari bahwa dia justru senang. Untung! Tidak ditanya! Sehingga kalau Pak Hary tidak menanyakan hasil kerjanya, dia juga tidak melapor apa-apa. Karena Pak Hary tidak menegurnya atau marah, dia merasa Pak Hary tidak keberatan. Jadi Poppy tenang-tenang saja. Baru kalau ditanya dia melapor. Kalau tidak ditanya, ya... kebetulan. Aman!

Kini merenungkan semua kebiasaannya dalam bekerja dan bergaul, Poppy merasa malu sendiri. Selama ini dia selalu bersikap seperti anak kecil. Menunggu ditegur atau dimarahi, baru dia mau mengubah sikapnya. Betapa bodohnya dia. Kurang peka terhadap perasaan orang lain. Mempunyai atasan seperti Pak Hary, yang sabar, tidak cerewet dan jarang marah, seharusnya dia bersyukur. Eh, dia malah memanfaatkan sikap Pak Hary demi kepentingannya sendiri.

Poppy kini memutuskan tidak akan menunggu ditegur atau dimarahi. Dia akan mencoba lebih peka dan selalu memperbaiki sikapnya. Dia tidak akan terlambat lagi ke kantor. Dia tidak akan memanggil Doraemon. Dia akan mengubah kebiasaannya sebelum ditegur. Banyak hal yang harus dia perbaiki.
Improve Yourself! Do not wait!

Sumber: Menunggu oleh oleh Lisa Nuryanti, Director Expands
Consulting & Training Specialist

selanjutnya...

Tuesday, March 13, 2007

Iri?

Yuli ingin membuat baju baru. Selama ini dia jarang mengenakan celana panjang dan blazer. Ada sih. Tapi bisa dihitung dengan satu tangan karena hanya dua buah. Busana lainnya berupa rok bawahan dan baju atasan dengan blazer. Selama ini dia memang lebih suka mengenakan rok bawahan daripada celana panjang. Tapi hari itu dia ingin membuat setelan celana panjang. Yuli tidak tahu berapa meter kain yang dibutuhkan untuk membuat setelan celana panjang. Karena itu, Yuli berniat menanyakan hal ini kepada anak buahnya. Saat istirahat, Yuli masuk ke ruang marketing. Di sana terdapat beberapa karyawan wanita yang selalu mengenakan setelan celana panjang. Supaya cepat, Yuli menanyakan kepada Anita, salah seorang karyawati yang duduknya paling dekat pintu masuk.

"Kalau mau bikin setelan celana panjang dan blazer biasanya berapa meter ya?" Anita menjawab :"Sekitar tiga meter Bu. Dua tiga perempat meter juga cukup." Yuli berkata :"Terima kasih". lalu keluar dari ruang marketing untuk kembali ke pekerjaannya. Kejadian tadi hanyalah kejadian kecil di kantor yang dianggap biasa oleh Yuli. Bahkan siangnya dia sudah melupakan peristiwa tadi pagi.

Tapi tanpa disangka-sangka, ternyata dampak peristiwa itu cukup besar. Yuli diberi laporan oleh salah seorang karyawati mengenai kejadian pagi itu. Setelah Yuli keluar dari ruang marketing, karyawati lain, Asti, memberi komentar :"Yang dipercaya cuma Anita ya? Kita, yang lain tidak pernah ditanya apa-apa." Yang lainnya menyahut :"Iya, kita tidak dipercaya." Anita sendiri heran mendengar komentar teman-temannya. Tapi dia diam saja.

Yang paling heran Yuli. Pada saat tadi dia bertanya kepada Anita, dia tidak memiliki pikiran jelek apa pun. Dia merasa wajar bertanya kepada Anita karena meja Anita paling dekat dengan pintu masuk ke ruangan. Bukannya dia hanya percaya pada Anita. Dia hanya bertindak wajar saja. Tapi ternyata pandangan anak buahnya yang lain sangat berbeda dengan kenyataan. Mereka merasa Yuli lebih memperhatikan Anita dan kurang memperhatikan yang lainnya. Aduuhhh! Yuli sampai geleng-geleng kepala. Dalam hatinya dia berkata :"Saya tidak akan mau tanya apa-apa lagi selain urusan pekerjaan. Kapok."

Yuli kemudian ingat hal semacam itu telah beberapa kali terjadi. Anak buahnya mudah sekali merasa iri. Ketika Yuli membawa makanan dari luar kota untuk mereka semua, Yuli menyerahkan beberapa bungkus makanan ke semua anak buahnya. Supaya lebih praktis, Yuli menaruh semuanya di meja terdekat, yaitu meja Anita.

Kurang enak didengar

Ternyata yang lain merasa iri dan Anita terpaksa mendengar beberapa kata-kata yang kurang enak didengar. Intinya mereka mengatakan semua oleh-oleh itu sebenarnya untuk Anita saja. Padahal jelas-jelas Yuli mengatakan agar oleh-oleh itu dibagi sama-sama. Yuli berniat baik, tapi akibatnya malah kurang menyenangkan.

Kalau mau mengikuti perasaannya, Yuli tidak mau lagi membawa oleh-oleh atau bertanya sesuatu pada siapa pun. Tapi Yuli kemudian merenungkan mengapa mereka bersikap demikian. Apakah ada yang salah dari sikap Yuli? Apakah mereka memang merasa diperlakukan lain olehnya? Ataukah hanya sekedar iri hati?

Yuli ingin tahu. Tapi kalau dipikir-pikir, tidak ada gunanya dia tahu hal itu. Yang penting kalau ini semua memang salahnya, dia ingin memperbaiki sikapnya.

Kalau dulu dia jarang masuk ke ruang marketing, maka sekarang dia ingin lebih sering mengunjungi ruang marketing. Dulu dia setiap pagi mengajak mereka rapat di ruang rapat. Kini Yuli ingin mengajak mereka rapat di ruang marketing saja. Selain supaya suasana lebih santai, mereka lebih mudah mengambil data atau laporan yang diperlukan dalam rapat. Mereka juga bisa mengangkat telepon yang masuk sehingga pekerjaan lebih efektif dan efisien. Ternyata hubungan mereka lebih dekat. Suara-suara sumbang yang selama ini sering terucap, kini berkurang jauh.

Malah, kadang-kadang Yuli duduk dekat meja mereka. Kebetulan memang ada satu meja yang tidak ditempati. Yuli sering duduk di situ. Kadang-kadang dia bekerja di sana. Kadang-kadang Yuli makan siang di meja itu juga bersama mereka. Memang di kantor mereka tidak disediakan ruangan makan. Suasana berubah lebih menyenangkan.

Kemudian Yuli mengusulkan agar tempat duduk mereka dipindah-pindah. Setiap tiga bulan semua orang bergeser ke meja di sebelah kanannya. Ketika Yuli mengajukan usul ini, ternyata mereka sangat antusias. Mereka menyukai usul itu. Malah kini, meja mereka lebih rapi karena tiap tiga bulan harus bergeser ke meja lain. Barang-barang yang tidak berguna kini disingkirkan. Tidak ada lagi sandal di bawah meja. Tidak ada lagi tas plastik bercampur dokumen yang berserakan di laci. Kini semua lebih rapi dan lebih menyenangkan.

Yuli hanya bersyukur. Seandainya dulu dia marah dan kesal mendengar komentar anak buahnya, tentu tidak akan terpikir olehnya untuk melakukan berbagai perubahan ini. Tapi kini semua orang merasa lebih bersemangat dalam bekerja. Think positive! Act positive!

Sumber: Ptensi Diri - Iri? oleh Lisa Nuryanti, Director Expands Consulting & Training Specialist

selanjutnya...

Friday, March 09, 2007

"Pesankan Saya, Tempat di Neraka!!"

Sebuah kisah dimusim panas yang menyengat. Seorang kolumnis majalah Al Manar mengisahkannya...Musim panas merupakan ujian yang cukup berat.
Terutama bagi muslimah, untuk tetap mempertahankan pakaian kesopanannnya. Gerah dan panas tak lantas menjadikannya menggadaikan akhlak. Berbeda dengan musim dingin, dengan menutup telinga dan leher kehangatan badan bisa dijaga. Jilbab bisa sebagai multi fungsi.

Dalam sebuah perjalanan yang cukup panjang, Cairo-Alexandria; di sebuah mikrobus. Ada seorang perempuan muda berpakaian kurang layak untuk dideskripsikan sebagai penutup aurat. Karena menantang kesopanan. Ia duduk diujung kursi dekat pintu keluar. Tentu saja dengan cara pakaian seperti itu mengundang 'perhatian' kalau bisa dibahasakan sebagai keprihatinan sosial.Seorang bapak setengah baya yang kebetulan duduk disampingnya mengingatkan. Bahwa pakaian seperti itu bisa mengakibatkan sesuatu yang tak baik bagi dirinya. Disamping pakaian seperti itu juga melanggar aturan agama dan norma kesopanan.

Tahukah Anda apa respon perempuan muda tersebut? Dengan ketersinggungan yang sangat ia mengekspresikan kemarahannya. Karena merasa privasinya terusik. Hak berpakaian menurutnya adalah hak prerogatif seseorang.

"Jika memang bapak mau, ini ponsel saya. Tolong pesankan saya, tempat di neraka Tuhan Anda!! Sebuah respon yang sangat frontal. Dan sang bapak pun hanya beristighfar. Ia terus menggumamkan kalimat-kalimat Allah.

Detik-detik berikutnya suasanapun hening. Beberapa orang terlihat kelelahan dan terlelap dalam mimpinya. Tak terkecuali perempuan muda itu. Hingga sampailah perjalanan dipenghujung tujuan. Di terminal akhir mikrobus Alexandria. Kini semua penumpang bersiap-siap untuk turun. Tapi mereka terhalangi oleh perempuan muda tersebut yang masih terlihat tertidur. Ia berada didekat pintu keluar. "Bangunkan saja!" begitu kira-kira permintaan para penumpang.

Tahukah apa yang terjadi. Perempuan muda tersebut benar-benar tak bangun lagi. Ia menemui ajalnya. Dan seisi mikrobus tersebut terus beristighfar, menggumamkan kalimat Allah sebagaimana yang dilakukan bapak tua yang duduk disampingnya.

Sebuah akhir yang menakutkan. Mati dalam keadaan menantang Tuhan.
Seandainya tiap orang mengetahui akhir hidupnya....
Seandainya tiap orang menyadari hidupnya bisa berakhir setiap saat...
Seandainya tiap orang takut bertemu dengan Tuhannya dalam keadaan yang buruk...

Seandainya tiap orang tahu bagaimana kemurkaan Allah...
Sungguh Allah masih menyayangi kita yang masih terus dibimbing-Nya.
Allah akan semakin mendekatkan orang-orang yang dekat denganNYA semakin dekat.

Dan mereka yang terlena seharusnya segera sadar...
mumpung kesempatan itu masih ada.

Sumber: Cerita dari Mesir "Pesankan Saya, Tempat di Neraka!!"
dikutip dari blog Aina Aqalby http://www.aina-alqalby.blogspot.com

selanjutnya...

Thursday, March 01, 2007

Diterima di ITB Malah Kebingungan

PEMENANG konser Akademi Fantasi Indosiar (AFI) boleh tersenyum lega, sebab setelah konser usai, mereka segera mendapat tawaran rekaman atau nyanyi dan dapat uang dari berbagai sumber. Tidak demikian halnya dengan pemenang Olimpiade Biologi Internasional.

Usai mendapat 'penghargaan' dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sebesar Rp5 juta per orang, mereka tambah miris dengan masa depan mereka sendiri.
Sebab, bukan tawaran main sinetron, hiburan ataupun tawaran model iklan dari berbagai produk yang berarti bakal dapat duit.

Sang juara Olimpiade itu harus berpikir keras bagaimana mencari duit untuk kelangsungan sekolah mereka. Seperti yang dialami Mulyono, pemenang medali perunggu Olimpiade biologi dari SMAN di daerah Pare, Kediri, Jawa Timur (Jatim).

Mulyono mengaku dirinya telah diterima masuk di Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan mikrobiologi melalui ujian saringan masuk yang diterapkan oleh ITB sebelum SPMB berjalan. Untuk meringankan siswa yang orang tuanya petani itu, Mulyono mendapat dispensasi tidak harus membayar uang masuk yang besarnya sekitar Rp45 juta, tetapi untuk biaya kuliah serta biaya hidup selama di Bandung masih tetap menjadi pikirannya.

"Ya, itulah yang mengganggu pikiran saya, dari mana saya harus mendapatkan uang," katanya lirih. Peraih medali perak dalam lomba sains nasional yang diselenggarakan di Balikpapan belum lama ini, sedang berusaha mencari sponsor agar dirinya bisa memperoleh dana bagi kelangsungan sekolahnya kelak.

Mulyono sempat bingung menghadapi uang kuliah yang besarnya Rp1,7 juta per semester, belum lagi biaya hidup di Bandung yang berdasarkan pemantauannya lebih dari Rp400.000 sebulan. "Tanpa adanya beasiswa atau sponsor, mustahil saya bisa kuliah di sana," kata Mulyono.

Kondisi serupa juga dialami Ni Komang Darmiani yang bersama-sama dengan Mulyono pergi ke Brisbane, Australia untuk membawa nama bangsa dalam Olimpiade Biologi tersebut, masih bingung terhadap masa depannya. Darmi mengaku telah diterima di Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana melalui jalur Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK).

Namun, sebelum berangkat ke Brisbane untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa terbelakang dengan cara ikut olimpiade sains, Darmi sempat bingung karena ia diwajibkan membayar uang pangkal dari Universitas Udayana sebesar Rp11 juta.

Ketika pulang dari Australia dan Dirjen Dikdasmen memberikan uang 'penghargaan' sebesar Rp5 juta dirinya sempat bergumam, "Wah, masih kurang Rp6 juta lagi."

Terbayang di hadapannya, orang tuanya yang guru SMA, harus berusaha keras menyediakan kekurangan biaya tersebut, belum lagi biaya semester yang harus dibayarnya serta biaya hidup di Denpasar kelak bila ia belajar di Universitas Udayana.

Letak Denpasar sangat jauh dari kediaman orang tuanya di Desa Bila, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, Singaraja. Artinya, selama menuntut ilmu mau tidak mau ia harus indekos karena tidak ada famili di sana.

Anugerah AFI yang hanya diselenggarakan di Indonesia begitu besar, tetapi mengapa anugerah Peraih Medali Perunggu olimpiade sains Cuma sebesar itu. Kapan masyarakat bumi tercinta ini mulai menghargai anak bangsanya yang telah membawa harum di dunia internasional. Jadi, kapan bangsa ini mulai menghargai orang cerdas dan pintar? (Hru/B-1)

Sumber: Media Indonesia

selanjutnya...